Senin, 25 April 2011

Ba'asyir: SBY Kafir

Metrotvnews.com, Jakarta: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kafir. Hal itu dikatakan terdakwa kasus terorisme Rais al-Am Majelis Anshor At-Tauhid Abu Bakar Ba'asyir dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (25/4).

Menurut Ba'asyir, SBY pantas disebut kafir karena gagal menjalankan syariat Islam di Indonesia. "Itu sudah menjadi konsekuensi, jika seorang pemimpin di negara ini tidak menjalankan syariat Islam dengan benar. Sangat pantas jika saya mengatakan bahwa SBY itu seorang kafir," tegas Ba'asyir.

"Pemimpin manapun yang memimpin negara ini, tetapi tidak menjalankan hukum Islam dengan sebagaimana mestinya, maka hukuman yang layak diberikan kepada orang itu adalah hukum kafir," ungkap Ba'asyir.
baca lanjutannya

Kamis, 14 April 2011

AKU YANG TERKUCILKAN

Bruuakk…bruuuakk…duuuaaarr…..duuaarrr!!!!
“Enggak mau pa !” teriakku, sambil ku lempar nasi kucing yang diberi ayahku.
“Ini udah tak beliin makan malah kau lempar Bar, tak hargai ayahmu nie ..kurang ajar kau Bar, matilah kau Bar !” teriak ayahku sambil memegangiku yang terus meronta –ronta…
Aku tendangi apapun yang ada di dekatku, entah itu barang –barang ayahku, dinding kamarku, bahkan ayahku sendiri sambil ku teriakkan sumpah serapah yang tak jelas, yang jelas aku merasa benci dengan ayahku.
Kepalaku pusing tak sadarkan diri, ku lempari semua yang ada didekatku kepada ayahku, tak jarang tubuh ayahku memar, ku ketahui setelah ku sadar. Semua teriak menghampiriku, membujukku dengan segala rayuan mereka namun ku tak bergeming. Sudah terlanjur hilang akal sehat ini untuk menerima rayuan itu. Yang ada dipikiranku adalah kosong, tak terkendali.
Beberapa saat ketika aku mulai tenang, kepalaku terasa pusing dan kulihat di sekitarku banyak orang yang semuanya memperhatikanku seolah aku adalah tontonan, aku tak sadar apa yang telah aku lakukan tadi.
Mereka menghina dan menertawakanku, sambil perlahan meninggalkanku. Ku lihat ayahku memegangi kakinya yang nampak bengkak dan memerah, sambil dia bilang “ sakit ini Bar, kau lempar batu itu tak kau kasihani ayahmu ini?! Lihat apa yang kau lakukan ini, mereka menjauhimu Bar! Sembunyi saja kau dikamar, jangan kau keluar lagi!!” teriak ayahku.
Aku hanya bisa diam tanpa kata, dan bersembunyi dalam gelapnya kamarku.
Namaku Akbar, yang ku ingat hanya itu. Ku berasal dari lampung, yang merantau dengan kedua orang tuaku di Pulau Jawa. Yang sekarang tinggal dengan ayahku di Yogyakarta, tepatnya di Minggiran. Ayahku sudah bercerai dengan ibu kandungku 2 tahun yang lalu, mungkin karena kerasnya kehidupan aku menjadi seperti ini, terkucilkan. Aku masih berusia 7 tahun, yang harusnya tak mengalami kehidupan seperti ini, yang layaknya mendapatkan kasih sayang penuh dari kedua orang tuaku, tapi apa yang telah aku dapat selama ini?
Aku terkucilkan, ku tak seperti anak lainnya, yang ada di hari –hariku hanyalah bertemanan dinding kamar, dalam hatiku teriak, aku normal dan aku seperti anak lainnya, hanya keadaan seperi ini yang membuatku lepas kendali. Hanya berteman kosong dan ejekan yang kuterima, ku benci ayahku, bukan sekitarku, aku menyalahkan ayahku!
Orang – orang sekitarku terlalu baik untukku, namun terkadang ulahku yang membuat mereka tak baik denganku, ku ingin selalu ditemani entah siapapun itu.
Ayahku tiap hari mengayuh sepedanya untuk mencari sesuap nasi hingga petang menjelang sebagai pelukis jalanan, tak diajaknya aku. Ku ditinggal dengan kesendirian di kamar, hanya bisa melihat anak – anak seusiaku berseragam merah putih dan menenteng tas.
Berangkat mas ? tanyaku pada mas kost.
Iya Bar mau berangkat kul, Akbar dah mandi belum? Jawab mas kost
Belum mas, tapi sudah cuci muka.
Tiap hari hanya seperti itu, tak pernah berubah ku selalu ditinggal sendirian di sini. Padahal aku ingin ada orang yang mengajakku berbicara. Mengajakku bermain dan membimbingku. Tapi apa yang ku dapat?
Bahkan waktu itu kakak – kakak kost yang ku huni dengan ayahku menjauh dariku, padahal tadinya mereka begitu baik denganku, begitu memperhatikanku. Karena ulahku sendiri aku terkucilkan, aku tak sadarkan diri melakukanya, apakah itu salahku? Apa aku pantas seperti itu? Aku menjadi tak terkendali ketika ayahku datang.
Aku ingat semua masa laluku, tapi tak mngerti apa yang kurasa. Suatu ketika ku diajak berkumpul dengan kakak – kakak kost, yang mereka bicarakan adalah aku. Tapi aku tidak tahu maksudnya, hanya bisa tersenyum dan menjawab pertanyaan dari mereka.
Mereka menanyaiku tentang kehidupan yang telah aku alami,”Apakah ayahmu sering memarahimu dengan fisik?” tanya mereka.
“Tidak” jawabku singkat
Dimana ibumu? Apakah kau punya saudara?
Ibu di jakarta dan aku punya kakak yang sudah kelas 6.
Kenapa kau tak ikut ibumu Bar?
Aku hanya bisa diam. Aku tak bisa menjawab karena aku tak tahu. Dan sampai disitu semua menjadi sunyi.
Ada kawan ayahku yang menceritakan kenapa aku bisa ada di Jogja, bahwa sebenarnya ayahku sudah menikah lagi dengan wanita Jogja, namun setelah sebulan menikah ibuku mengantar aku ke ayah, bahwa ibuku sudah tidak bisa mengurusi aku karena tingkah lakuku. Ketika aku bersama ayahku, ibu tiriku kabur entah kemana setelah mengetahui ulahku seperti apa. Dan kehadiranku ke ayahku merubah segala kehidupan ayahku, ia diusir sampai lima kali dari tempat aku tinggal, karena perbuatanku. Bahkan aku sempat sekolah di kelas 2, namun karena ekonomi ayahku yang tak kuat membiayaiku dan tingkah lakuku di sekolah maka aku berhenti. Dan menjadi anak terasingkan.
Semua yang dikatakan benar, namun aku tak bisa memikirkanya dan hanya bisa tersenyum lebar karena aku tak paham. Aku tahu tak seharusnya aku membenci ayah, Tapi keadaanku yang membuat seperti itu, ayah begitu menyayangiku tapi caranya salah Dia orangnya keras dan aku menjadi keras hingga tak ada yang mengalah, dan dibiarkan aku dalam penjara kehidupan saat ini.
Seperti sebelumnya aku dan ayahku kembali diusir dari tempat kostku, karena dengan keadaanku saat ini membuat orang – orang yang tinggal menjadi tidak nyaman. Akhirnya aku pindah ke tempat kost baru. Apa yang kudapat sama saja, aku tetap merasakan kehidupan seperti yang sebelumnya, tak berubah sedikitpun.
Aku menyadari semua kelebihan yang aku punya, yang lebih baik dari anak – anak normal lainnya. Daya ingatku tinggi dan cepat menghafal ketika aku normal, aku suka membaca semua buku yang diberikan kepadaku. Aku cepat menghafal perkataan dan lirik sebuah lagu, bahkan aku bisa menyanyikanya dengan baik. Karena kakak – kakak kostku pernah bilang bahwa suaraku bagus dan cepat menghafal.
Suatu ketika entah apa yang terbesit dari pikiranku waktu itu, kata hatiku berontak dan harus pergi dari tempat ini. Aku pergi dari kehidupanku yang membelenggu ini, meninggalkan ayahku seorang diri, aku pergi ketika dia belum pulang dari bekerja. Aku tak memikirkan apa yang akan terjadi nanti setelah dia tahu aku tak kan kembali lagi. Aku tak akan kembali ke tempat ayahku lagi, biarkan dia mencariku kemana saja. Aku sudah terlanjur membencinya yang mebuat aku terkucilkan.
Aku terus berjalan entah kemanapun yang ku mau, ku tak tahu tujuan. Aku tak memikirkan apa yang akan ku temui nanti. Aku hanya bermodalkan diri dan rasa yang kadang tak sadarkan diri. Kadang ku bernyannyi sendiri dalam perjalananku, ku biarkan orang menganggapku seperti apa. Aku sudah tak punya rasa lagi saat ini. Aku ganjal perut ini dengan makanan yang ku temukan di jalan atau tempat sampah, ku minum air yang menggenang dijalan. Hingga tubuhku kering penuh dangkal, tapi ku sering membaca tulisan – tulisan yang ku temui. Mencoba memahami tulisan itu, namun tetap tak ku mengerti.
Hingga ku bertahan 2 tahun hidup dijalanan, ke bertemu dengan kakek tua yang menggunakan tongkat alat bantu ia berjalan. Mengajakku berbicara dan membawakan makan yang layak untuk ku makan, entah apa yang ada dipikiranya, kenapa ia mau mendekatiku dan berbuat baik kepadaku. Dia mulai mendekatiku ketika ku membaca sebuah buku berjudul Secret yang usang terbuang ditempat sampah. Aku memang tak paham isinnya, tapi tidak tahu kenapa aku suka membacanya. Kakek tua itu tiap hari datang menghampiriku untuk memberiku makan dan membawakan buku untuk kubaca.
Hai nak, ini masih ada makanan yang banyak dan beberapa buku? Kakek bawakan buat kamu, sambil menyerahkan 2 bungkusan plastik kresek.
Ku tatap kakek itu, dan terasa ada sesuatu yang membuat pikiranku seakan perlahan membuka menampakkan cahaya.
Apakah kau malaikat? tanyaku, walau aku tak tahu tentang kepercayaan agama.
“Bukan nak, kakek hanya orang biasa, kakek hanya melihat kau seperti cucuku. Kau suka membaca, dan kakek tahu kau akan menjadi orang yang hebat suatu saat nanti” jawab kakek
Aku hanya terdiam, dan menggumam dalam hati. Suatu nanti ketika kau tahu tingkah lakuku yang tak sadarkan diri, kau akan mengucilkanku seperti orang – orang sebelumnya.
Tapi apa yang terjadi, dia tidak menjauhiku ataupun mengucilkanku. Bahkan ia semakin dekat denganku dan sering mengajakku berbincang. Aku dibawa kerumahnya dan dirawat oleh kakek itu. Ternnyata dia adalah orang yang berlimpah harta, namun hidup dengan kesendirian. Istrinya telah meninggalkanya lama dan tak mempunyai anak. Saudaranyapun tak ia miliki. Dia hidup sendiri sepertiku, sendirian yang berteman sepi namun berkecukupan. Dibiayainya semua kehidupanku, aku dirawatnya seperti cucunya sendiri. “Kenapa dia dulu mengatakan aku mirip dengan cucunya padahal dia tidak mempunyai anak?” pertanyaan yang kusimpan dalam hati yang tak bisa kusampaikan. Kebiasaanku yang tak sadarkan diri dan mengamuk berangsur lenyap, gelapnya hati perlahan dikuasai oleh cahaya yang menyadarkanku. Aku di rawat oleh psikolog khusus yang didatangkan oleh kakek itu tiap hari, aku juga mulai dijejalkan pengetahuan oleh guru prifat secara rutin yang di undang oleh kakek. Diajarkanya aku tentang agama, adanya sang pencipta dan pengatur kehidupan ini. Dimana aku dituntun ke jalan tuhan agar aku dapat bersyukur atas apa yang diberikany –NYA terhadapku.
Layaknya aku cucunnya sendiri, semua keinginanku dipenuhinya. Aku disekolahkan lagi ke SD UMUM disekitar tempat tinggal kakek, hingga aku lulus SMU. Aku tak butuh waktu lama, untuk lulus. Karena kepandaianku tak seperti orang normal.
Suatu ketika setelah sehari aku lulus, baru berani aku menanyakan pada kakek tentang cucunya.
“Kek, kenapa waktu pertama merawatku kakek mengatakan aku mirip dengan cucu kakek?” tanyaku dengan nada rendah, takut menyinggung perasaan kakek.
Kakek hanya tersenyum, dan hanya menjawab “bukan mirip nak, tapi kau ditakdirkan menjadi cucuku sekarang. Sebagai pewarisku, aku melihatnya ketika aku pertama kali melihatmu”
Jawaban yang membuatku janggal, kenapa ia memilihku, bukankah masih bayak anak yang ada di panti asuhan atau dimanapun yang layak dari pada aku.
Baru ku ingat bahwa aku masih mempunyai ayah, dimana ayahku sekarang? Bagaimana keadaanya? Aku baru menyadari bahwa semua yang dilakukan oleh ayahku adalah yang terbaik buatku, karena keadaan yang menimpa ayahku kehidupanku seperti itu, semata –mata bukan karena salah ayahku. Aku ingin menemuinya dan meminta maaf karena ku meninggalkannya dan maaf atas kebencianku,
Aku telah bekerja di salah satu perusahaan yang besar, dan memiliki beberapa usaha sampingan. Aku tinggal bersama kakek, dan berbalik ku yang merawatnya. Dia pengubah kehidupanku, dia adalah cahaya terang dalam gelapku, penuntunku ke jalan Tuhan Allah SWT.
Suatu ketika saat ku berjamaah dengan kakekku, tak kusangka itu adalah pelajaran terakhir yang ku ambil dari kakekku. Dia menghembuskan nafas terakhir ketika salam terakhir, sebelum shalat dia meminta untuk menjadi imam dan mengatakan dia ingin aku mencari ayah kandungku.
“Nak, sudah lama kakek tak menjadi imam, sekarang kakek yang menjadi imam” sambil memegang tanganku.
Di lebih mendekat denganku dan berbisik di telingaku.
“Nak, mungkin ini terakhir kali aku bisa berjamaah denganmu, nanti kau cari ayahmu. Kau tahu pasti apa yang akan kau lakukan terhadap ayahmu, sekarang qhomatlah.”
Belum sempat aku menjawabnya, aku segera qhomat. Ternyata itu adalah kalimat terakhir untukku.
“Betapa mulianya kau kek, hatimu begitu bersih dan agung hingga kau kembali ke pangkuan-NYA dengan cara seperti itu. Hatiku begitu sedih dan tak hentinya aku mendoakanmu disamping makam tempat kau terbujur kaku. Kau kan bahagia disana kek, surga menunggumu. Aku kan lanjutkan warisan kebaikanmu dan kan ku penuhi permintaanmmu”
Aku membuat panti asuhan yang menampung anak – anak jalanan. Meberikan rehabilitas dan pendidikan yang layak secara gratis kepada mereka. Aku ajak mereka seperti kakek mengajakku dahulu. Aku ingin tak ada yang mengalami apa yang ku alami dulu.
Aku mencari keberadaan ayahku yang tak tahu dimana, ku mulai telusuri dari terakhir kali aku meninggalkannya, namun tak ada hasilnya. Entah dimana ayahku saat ini?
Ku sudah sebarkan di surat kabar bagi yang menemukan ayahku, akan ku beri imbalan yang sepantasnya dalam jumlah besar.
Namun setahun berlalu tetap tak kunjung datang informasi tentang keberadaan ayahku. hingga tak sengaja ku Shalat Jumat di daerah Bantul, ku berkenalan dengan seorang kakek.
“Assalamualaikum anak muda, ada keperluan apa anda di sini?” sapa kakek itu
“Wa’alaikumsalam kek, saya sedang mencari ayah yang sudah lama tidak bertemu.” Jawabku sambil ku keluarkan fotonya, foto yang ku dapat dari tempat kostku dulu.
“Kakek tahu orang ini?”tanyaku berharap kakek ini tahu.
“Coba nak, kakek lihat. Subhanallah… benar nak ini ayahmu?” tanyanya kaget.
“Benar kek, kakek tahu?”tanyaku tak kalah kagetnya.
“Nama ayahmu Lukman?”tanyanya kembali
“Iya kek”jawabku singkat penasaran, apakah kakek ini benar kenal ayahku.
Dia tidak menjawabku dan mengajakku ke pemakaman umum sekitar situ.
“Kenapa kakek membawa aku kemari kek, apa hubunganya dengan ayahku?” tanyaku penasaran dan galau merinding.
Kakeku membawaku ke batu nisan yang tertulis “ LUKMAN DINOTO BIN SUYONO, LAHIR 07 – 07 -1959 – WAFAT 17 – 07 – 2010”
Aku merasa beku melihat tulisan di batu nisan itu, tubuhku gemetar dengan kencangnya. Air mata ini tak henti menetes, sambil ku peluk batu nisan itu. Aku seakan tak bisa memaafkan diriku sendiri, dosaku begitu besar. Aku belum sempat minta maaf ke ayahku, kini aku tak bisa. Dan rasa bersalahku terus menghantuiku. Gelap hatiku kembali muncul.
Kakek menceritakan semua kejadian yang menimpa ayahku, dia adalah orang yang terakhir dekat dengan ayahku. Diambilnya surat titipan ayah untukku jika aku bertemu dengannya. Ku baca surat itu perlahan dengan isak tangisku yang semakin kencang.
Ayah meminta maaf padaku, tentang keadaanku dulu yang membuat aku seperti itu.
Aku tak bisa berfikir lagi, hatiku hampa. Kosong yang ada hanya pennyesalan menyalahkan diriku sendiri.
Namun entah mengapa ku mendengar suara dari lubuk hatiku.
“Nak, berdirilah dan melangkahlah. Ayah minta maaf atas semua tindakanku kepadamu nak. Ayah juga sudah memaafkanmu. Kembalilah pada dirimu, lanjutkan kehidupanmu nak. Jangan lagi kau dikuasai oleh gelapnya hatimu dulu. Ikuti cahaya dalam hatimu. Ayah baik – baik saja di sini”
Aku tersadar, terbangun. Ternyata aku pingsan selama 3 hari di rumah sakit. Suara itu terus terngiang di telingaku. Aku bangkit dan berdiri sambil ku berdoa , “terima kasih ya Allah SWT atas semua karuniamu dan petunjukmu, terima kasih ayah telah memaafkanku. Aku akan terus berjalan, dan berlari untuk kebaikan di dunia dan akhirat. Ku kan perjuangkan untuk kehidupan anak – anak terlantar. “
Ku mendirikan panti asuhan untuk anak –anak terlantar dibeberapa tempat. Dan salah satu panti asuhan yang besar ku namai “Panti Asuhan Lukman” sebagai penghormatan dan amanat ayahku.
Sampai aku dipanggil oleh–Nya kelak untuk mengikuti kakek dan ayahku, aku akan terus berjuang untuk kemanusiaan terutama untuk anak – anak terlantar. Kehidupanku untuk anak – anak diluar sana.

Senin, 11 April 2011

AKU MERASAKANNYA

Tak pernah ku merasa hawa sehangat ini,
Di dalam hatiku,
Dan tak pernah ku rasakan hawa sedingin ini,
Di dalam tubuhku,
Dua rasa penguasa hatiku saat ini,
Membuat raga ini tak hentinya menggigil bergetar,
Terpasung diam tanpa arah,
Otak ini berjalan begitu membingungkan,
Serumit kehidupan yang kujalani,
Beribu syaraf otakku seakan terlilit tak dapat terlepas,
Membesar dan menggema dalam pikiranku,
Terdengar bisikan yang tak terwujud,
Berisik dan asing dalam telingaku,
Tak jelas terucap , sehingga tak ku pahami,
Udara yang kuhirup begitu berat di hidungku,
Seakan muak dan lelah sekian lama seperti itu,
Merasa bosan hingga sulit kuhirup,
Kelu lidah ini tuk mengucap,
Sepatah katapun tak dapat tercipta,
Berat dan kaku bibir ini membangkang,
Begitu sulitnya ku perintahkan tuk bernada,
Pandanganku mulai kabur dari kenyataan,
Buram tak jelas apa yang kulihat,
Perlahan terang itu menjadi gelap,
Seakan cahaya telah kalah dalam berperang,
Kegelapan tertawa lepas atas kemenanganya,
Berkuasa menjajah cahaya dalam hidupku,
Ototku begitu lemah tuk ku gerakkan,
Seakan ikut kalah dalam peperangan,
Sulit dan berat ku angkat tangan ini,
Hanya setitik gerak jemariku menari,
Namun tak tahan lama tuk bisa ku kendalikan,
Apa yang ku alami,
Begitu rumit ku mengerti,
Karena yang kuingat hanya semua gejolak permasalahan,
Kerumitan yang menghantuiku selama ini,
Menemani dengan setianya kilasan masa lalu,
Jepretan semua perbuatanku terpampang dilayar pikiranku,
Berganti perepisode yang kulewati,
Semasa kecil hingga ku seperti ini,
Terus berputar tayangan itu yang berlahan menjadi buram tak jelas,
Hingga gelappun menguasainya……
Kini yang ada hanya gelap, kosong, sunyi ………..

Pemikiran Penganut Kebebasan

Kekayaan, derajat, pangkat, kesejahteraan, kemuliaan, keagungan, uang?
Apa yang dicari manusia? Keegoisan kaum –kaum pencari kekuasaan,
Propaganda –propaganda kaum atas menjatuhkan si kecil,
Permainan kelas atas begitu transparan di masyarakat,
Rezim -rezim yang berkuasa dari abad kemerdekaan,
Tak pelak kekuasaan saat ini layaknya dayung dibeberapa kapal yang tak bermesin dan tak berlayar,
Perebutan untuk memanfaatkan sebuah dayung dengan segala akal dangkalnya,
Peperangan taktik saling menjatuhkan,
Bagaimana ia mendapatkan dayung itu tuk mengayuh kapalnya,
Mendayung hingga mencapai perhiasan harta karun kekuasaan,
Bukan dayung yang mereka perebutkan,
Tapi akhir tujuan tadi, yaitu kekuasaan.
Mereka berfikir dengan ideologi –ideologi yang mereka anut,
Kebijakan keegoisan suatu golongan masing –masing yang paling benar,
Tak salah memang,
Warisan pejuang –pejuang sejarah bangsa begitu mengakar,
Runtuhnya kekusaan awal kemerdekaan berganti dengan kekuasaan baru,
Tersusun rapi sesuai rencana si pemikir ulung,
Cara yang tak etis untuk kehidupan manusia pun seolah menjadi umum,
Tak lagi kawan, saudarapun lenyap apabila menjadi pembangkang,
Kekuasaan keideologian menjadi barisan bersenjata,
Beda ideology? Mati !!!
Kejam permainan kelas atas seperti itu, tak hayal penyuara dan pengerak suatu bangsa pun teracuni,
Karangan publikpun membuatnya menjadi golongan yang pesakitan,
Tak ada lagi pengkritik yang berdiri tegap melantangkan nyanyiannya,
Seperti tikus yang terjepit dalam jebakan,
Bernyanyi dan bersyair namun terpasung dibalik jeruji besi,
Permainan kata yang terkoar menutupi kelemahan yang dibahas,
Mengalihkan semua opini dan memulai dengan permainan yang baru,
Transparan namun begitu rahasia,
Apa akibatnya?
Ketidak tahuan masyarakat umum, teracuni dan terjebak,
Pemikiran yang dangkal hanya mengiyakan tau menolak,
Namun tahukah yang ada dibalik semua itu,
Public berbahagia dengan lagu –lagu kaum atas,
Menyiarkan ke halayak masyarakat tuk beropini,
Kejam? Mungkin.
Pandai ? ya, dengan banyak kelicikan yang tak terlihat begitu berhasil menghipnotis kaum kecil,
Akankah semua bisa berakhir? Aku dan kamu mungkin berpikir sama, semua itu takkan pernah berakhir,
Cita –cita yang dicanangkan pejuang demonstran tak kan tercapai,
Begitu tinggi walau kemungkinan itu ada,
Hanya bisa berkata tanpa berbuat, hanya bisa teriak ketika tertindas,
Gejolak –gejolak perjuangan terantai dan terpenjara,
Hanya sebuah pemikiran si penganut kebebasan.

Senin, 04 April 2011

Pilihanku.........

semilir angin berhembus pelan,
membuatku terhanyut dalam lamunan,
ketika ku memikirkan jalannya kehidupan,
begitu rumit buatku tertekan,
begitu banyak pilihan dipersimpangan jalan,
begitu berbeda apa yang kupikirkan,
hingga serasa aku dalam kebutaan,

buta dalam kebimbangan,
bimbang akan apa yang akan ku tempuh ke depan,
benar atau salah itu yang ku takutkan,
takut pilihan itu kan menyakiti insan yang lain,
tersirat menjadi perusak keadaan,
tak sanggup ku tuk memilih pilihan itu,
lebih memilih tuk menunggu,
menunggu munculnya jalan yang tak begitu rumit untuk kujalani,
setia dengan angin yang berhemus saat ini.......